Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman melontarkan kritik terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun. Menurutnya pertimbangan MK dalam putusan ini sangat lemah.
"Saya melihat pertimbangan MK sangat lemah, logika yang dibangun itu sangat lemah," kata Zaenur, Jumat (26/5/2023).
MK dalam pertimbangannya menilai bahwa sistem perekrutan pimpinan KPK dengan waktu 4 tahun membuat penilaian kinerja mereka dilakukan dua kali yakni, oleh presiden dan DPR.
Menurut MK, penilaian seperti itu dapat mengancam independensi KPK. Pasalnya, baik presiden atau DPR dalam periode kerjanya, berwenang untuk merekrut sebanyak dua kali.
Baca Juga:CEK FAKTA: KPK Periksa Ganjar, Akui Dana 300 T Untuk Bayar Buzzer
Belum lagi penilaian bahwa masa jabatan pimpinan KPK yang hanya 4 tahun itu dianggap diskriminatif hingga melanggar undang-undang dasar. Dengan alasan lembaga-lembaga negara independen lainnya memiliki masa jabatan 5 tahun.
"Saya mengatakan ini sama sekali tidak benar. Saya melihat bahwa argumentasi ini sangat lemah. Kenapa? Ya karena selain KPK ada lembaga-lembaga negara lain yang masa jabatannya tidak lima tahun misalnya komisi informasi, komisi penyiaran itu tidak lima tahun, tetapi masa jabatannya 4 tahun bahkan 3,5 tahun," tuturnya.
Soal masa jabatan apakah harus 5 tahun atau tidak, kata Zaenur itu merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang yakni DPR dan pemerintah yang membentuk undang-undang. Jadi seharusnya MK tidak ikut menentukan masa jabatan satu jabatan publik.
Terkait dengan kekhawatiran bisa memengaruhi independensi akibat dipilih dua kali oleh presiden dan DPR, ia menyebut hal itu tidak logis. Mengingat jika kemudian diperpanjang pun, nanti pimpinan KPK berikutnya itu masih akan tetap dipilih oleh Presiden Jokowi dan DPR periode saat ini.
"Meskipun nanti dilantiknya oleh presiden yang baru. Karena memang untuk prosedur pemilihan calon pimpinan KPK itu dimulai setidak-tidaknya 6-7 bulan sebelum masa jabatannya habis. Jadi nanti yang akan memiliih ya tetap saja, yang akan membuat pansel dan memilih itu tetap presiden dan DPR periode saat ini," paparnya.
Ia menilai bahwa antara independensi dan seorang presiden serta DPR satu jabatan yang bisa memilih dua kali itu sama sekali tidak ada korelasinya. Sebab yang dimaksud dengan independensi KPK itu adalah independen ketika itu tidak dicampuri di dalam menjalankan kewenangannya.
Termasuk ketika di dalam pemilihan itu dilakukan secara independen. Salah satu bentuk untuk menunjukkan independensi tersebut adalah dengan menggunakan panitia atau tim seleksi dalam prosesnya.
"Itu tujuannya untuk bisa menjamin independensi para pimpinan KPK. Kalau seorang presiden atau seorang anggota DPR punya titipan-titipan agenda kepada calon pimpinan KPK ya itu bisa dititipkan di periode manapun," tegasnya.
"Tapi itu kan direduksi diredam dengan cara pimpinan KPK itu melalui seleksi oleh tim yang tim itu terdiri dari perwakilan masyarakat dan juga pemerintah," imbuhnya.
Dalam artian, itu yang membedakan pimpinan KPK dengan jenis-jenis jabatan yang lain. KPK adalah lembaga negara independen maka seleksinya juga independen.
"Maka itu digunakan sebagai mekanisme untuk menjamin independensi dari KPK. Jadi saya tidak melihat bahwa kalau dipilih satu presiden bisa memilih selama dua kali ya, ya itu tidak akan memengaruhi independensi KPK sama sekali," cetusnya.