Suara Joglo - Berstatus sebagai negara maju, demokratis, super power dan banyak lagi julukan bagi Amerika, nyatanya tidak lantas membuat negara itu bebas dari kerusuhan dan kekerasan.
Apalagi kekerasan akibat senjata api. Amerika memang menjual bebas senjata api di negerinya. Namun konsekuensinya, kekerasan akibat senpi ini telah menewaskan ribuan jiwa.
Hingga 28 Maret 2023, sudah sebanyak 10.000 orang tewas dalam tragedi kekerasan menggunakan senjata api. Data ini seperti dirilis organisasi nirlaba Gun Violence Archive.
Tahun ini saja, menurut organisasi tersebut, sudah ada 130 insiden penembakan massal yang terjadi di AS. Data itu menunjukkan jumlah orang yang bunuh diri dengan senjata api sejak awal tahun ini sebanyak 5.742.
Sedangkan 4.266 lainnya tewas akibat pembunuhan, penembakan yang tak disengaja dan penggunaan senjata untuk membela diri. Lebih dari 7.500 orang lainnya terluka.
Sementara itu untuk anak di bawah umur, 59 anak berusia 0-11 tahun meninggal dunia dalam insiden sama, diikuti 347 anak lainnya yang berusia 12-17 tahun.
Negara bagian Tennessee di AS pada Senin masuk menjadi berita utama setelah insiden penembakan massal di sekolah Kristen swasta, SD Covenant School di Nashville, yang menyebabkan tiga anak dan tiga orang dewasa tewas.
Pelaku penembakan, Audrey Hale (28) adalah mantan siswa sekolah yang dikenal sebagai transgender. Dia tewas dalam baku tembak dengan tim polisi beranggotakan lima orang di lantai dua sekolah, kata pihak berwenang.
Presiden Joe Biden mengatakan bahwa Kongres AS harus bertindak mensahkan larangan kepemilikan senjata serbu.
Baca Juga:Tetap Tolak Israel Main di Piala Dunia U-20, Sekjen PDIP Doakan Ada Solusi Terbaik
"Saya telah menjalankan otoritas eksekutif saya sepenuhnya untuk mengatur apa pun tentang senjata," kata Biden.